Beliau lahir pada 1897 M./1315 H. di Makkah. Ketika berusia 6 tahun, ia diboyong ayahnya K.H.R. Syamsul Arifin, kembali ke tanah air bersama ibunya, Hanijah Maimunah. Setelah menetap beberapa tahun di Kembang Kuning, ibunya meninggal dan dimakamkan di belakang Mihrab Masjid Talang Pamekasan.
As’ad menjadi santri perantau dari pondok satu ke pondok lainnya. Di antara pondok-pondok tua yang pernah disinggahi As’ad adalah Pondok Banyuanyar, baik ketika diasuh oleh Kiai Haji Abdul Majid maupun Kiai haji Abdul Hamid; Pondok Sidogiri, Pasuruan, di bawah bimbingan Kiai Haji Nawawi; Pondok Buduran, Panji, Sidoarjo, di bawah asuhan Kiai Haji Khozin; Pondok bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kiai Haji Kholil; dan Pondok Tebuireng Jombang, asuhan Kiai Haji Hasyim Asy’ary.
Di Pondok Tebuireng As’ad memperoleh kesan mendalam sebagai seorang santri. Menurutnya, Tebuireng merupakan pondok yang paling berpengaruh bagi pembentukan kepribadiannya. Bahkan setiap menyinggung pesantren Tebuireng, ia tak putus-putusnya menyebut Khadratusy Syekh Hasyim As’ary sebagai guru terakhir yang paling banyak membentuk wataknya.
Pada tahun 1983, As’ad mulai aktif membantu ayahnya mengajar di pondok. Materi pelajaran yang diajarkan kepada para santri Sukorejo adalah ilmu Tauhid Elementer yang dikenal dengan ‘aqidatul awām. Tahun berikutnya, As’ad menambah materi pelajaran yang dari kitab Izzi al Kailani dan al-Jurumiyah lengkap dengan tasrif-nya. Materi pelajaran ini dibaca setelah shalat isya’. Sedangkan kitab tasawuf Bidāyatul Hidāyah dan Kifāyatul Akhyār dibaca setiap habis shalat subuh.
Ma’had Aly merupakan lembaga pendidikan formal terakhir yang sempat didirikan almarhum K.H.R. As’ad Syamsul Arifin. Lembaga ini dirancangnya untuk menjadi wadah kaderisasi ahli fiqh (at-tafaqquh fi ad-din) karena terilhami Al-Quran surat At-Taubah (9) ayat 122.
Selain mendidik santri secara langsung dalam majlis ilmu, K.H. As’ad juga membekali mereka melalui buku-buku yang ditulisnya. Di antaranya Kitab Risalah Tauhid yang menyajikan pesan penulis kepada semua santri untuk memperdalam Islam, iman, dan ihsan terutama dalam ilmu Aqa’id. Baginya, Ilmu Ushuluddin perlu ditanamkan dengan kokoh dan kuat ke dalam dada pemuda-pemuda Islam, agar tidak tertipu dengan penampilan golongan musuh Islam yang seperti “musang berbulu ayam”. Umat Islam kelak akan dihancurkan akhlaknya dengan diperbanyak kemungkaran dan sejenisnya. Penyalahgunaan ajaran syariat Nabi Muhammad SAW dan penyempitan aksesnya, kemudian persatuan umat Islam dihancurkan, ketaqwaan dilemahkan, akibat umat kurang berhati-hati dan waspada. Karena itu, untuk mendapatkan pemahaman yang benar, para santri terlebih dahulu harus belajar secara tuntas tentang ilmu Tauhid, Fikih, serta Tasawuf.
Menurut K.H. As’ad, segala ilmu yang tidak dijiwai ketauhidan, alih-alih diharapkan hasilnya akan memuaskan, malah bisa mencelakakan orang tersebut. Namun kalau tauhidnya sudah melekat, ilmunya akan bermanfaat dan barokah. Dalam rangka menanamkan ketauhidan, K.H. As’ad memerintahkan kepada para santrinya, sebelum shalat isya untuk membaca ”sifat 20”. Baginya, hal tersebut bukan sekedar nyanyian. Ditambah Rukun Islam dan Iman, yang semua itu dasar tauhid, dapat mengingatkan para santri akan ketauhidan[].
KOMENTAR