Rona jingga di ujung timur mulai menampakkan bias sinar. Cahaya redup ufuk berlahan makin menyemburat, menghadirkan pesona pagi yang indah. Namun keindahan tersebut tidak semua orang merasakannya. Sebagian masih asyik-masghul di peraduannya. Sebagian sudah jaga, namun sibuk dalam aktifitas, tanpa peduli dengan sang pembawa pagi. Berbeda dengan kang Sukin yang hampir tiap pagi merasakan sensasi lazuardi pagi tersebut. Termasuk pagi ini, Kang Sukin sudah sibuk memantau sawahnya. Ya, sebidang sawah yang cukup luas ini merupakan sawah yang menjadi pengharapan hidupnya. Dalam kontruks sosial di desanya, kepemilikan sawah merupakan bagian dari status sosial yang melekat pada seseorang. Meskipun kecenderungan feodal ini sudah mulai memudar, namun secara kapitalistik, sawah merupakn ‘mode produksi’ yang masih efektif untuk akumulasi kekayaan. Semakin banyak sawah yang dimilikinya, semakin kaya lah orang tersebut.
Kang Sukin memperhatikan setiap centi garis tepi sawah yang berbatasan dengan pematang tipis. Di dekat pematang kecil tersebut, terdapat kawat lembut yang terbentang mengitari sawah, menjadi pagar kecil. Kawat berwarna putih tersebut setiap dua meter tersangga semacam tiang kecil dari bambu, ditempatkan sekitar sepuluh centimeter dari permukaan tanah.
Mata kang Sukin tidak berhenti memperhatikan kawat tersebut. Ketika sampai pada satu titik, terlihat rona wajah yang berubah. Guratan wajah manusia paruh baya ini menunjukkan perasaan puas, sesekali bercampur dendam. Ya, di sisi kanan kiri kawat tersebut, tampak bergelimpangan beberapa bangkai. Bangkai dari binatang pengerat, yang mati karena kesetrum. Benar, kawat putih itu memang sengaja ditanam untuk menyetrum tikus-tikus yang merusak tanaman padi miliknya. Hama tikus memang menjadi ancaman serius bagi petani. Khususnya pada musim panen ini. Tikus telah memotong batang padi yang mulai tumbuh dan bersemi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk membasmi hama tikus ini. Mulai dari membongkar sarang tikus, pengasapan, racun tikus hingga dengan strum tikus, seperti yang dilakukan oleh kang Sukin ini. Namun tikus tetap saja masih merajalela, meskipun tiap pagi banyak tikus yang terbunuh. Kemarin saja, kang Sukin dapat dua puluh satu tikus yang mati tersetrum. Belum lagi pada hari lainnya, sawah lainnya dan teknik pembasmian lainnya.
Seperti biasa, kang Sukin memungut setiap tikus yang sudah tak berdaya. Dipegangnya ekor tikus dengan jari telunjuk dan jempolnya, ditumpuk pada satu tempat. Setelah semua bangkai tikus terkumpul, kang Sukin membakarnya dengan dedaunan kering, supaya bau busuk bangkai hilang bersama asap-asap yang membumbung disertai aroma daging terbakar.
Namun tetap saja, di bagian tengah sawah, batang-batang padi berserakan, beberapa mengambang di air sawah setinggi mata kaki orang dewasa. Sudah bisa diduga, semalam tikus-tikus yang lolos dari kawat bertegangan listrik itu sedang berpesta pora, menikmati hidangan lezat batang padi yang hijau subur.
" Tatu lagi ya kang...?" Sapa suara dari pematang yang terdengar lirih. Suara kang Parjo rupanya, yang hendak ke sawah melewati sawah kang Sukin ini.
"Wah..iya kang.. Masih saja ada yang rusak, padahal pagi ini sudah dapat 19 tikus" jawab kang Sukin. Ada raut kecewa dan putus asa di wajahnya.
"Kok bisa ya..? Padahal udah pakai setrum.."
" Entah lah kang... Aku juga bingung..."
"Tapi sawah mbah Darmo itu lho, kok tidak tatu blas ya...?
" Padahal sawah mbah Darmo itu tidak pake setrum, tidak ada pagar plastiknya juga."
"Eh..tahu tidak kang Sukin.. Sawah mbah Darmo itu katanya ada sajennya."
"Sajen?"
*******
Sementara beberapa meter dari sawah kang Parjo, tepatnya sela tiga sawah, di pojok sawah yang membujur ke arah barat, tampak asap kecil menyembul. Asap itu keluar dari besek yang berisi ubo rampe beberapa jenis. Salah satunya adalah sebutir benda yang mengeluarkan asap, disertai aroma khas yang menyengat. Ya, aroma menyan yang dibakar. Menyan itu diletakkan tepat di tengah tangkir yang terbuat dari daun pisang yang dibentuk sedemikian rupa, berisi beras kuning. Di sebelahnya, ada pula tangkir yang lebih besar, berisi bubur merah, ditengahnya ada bubur putih mengambang, persis seperti pulau kecil yang dikelilingi air. Tangkir ketiga, berisi bunga yang terdiri dari berbagai jenis bunga, namun tetap didominasi bunga warna merah dan putih. Ketiga tangkir tersebut mengawal suatu benda yang sudah tidak asing lagi. Tampak dua paha itu menjulang ke atas, dengan kedua cakarnya yang masih melekat. Ya, sebuah ayam masak utuh yang sudah dibumbui. Besek tersebut diletakkan di pojok sawah, tepat dibawah pohon gempol kecil pembatas sawah. Sawah tersebut adalah milik seorang petani tua yang bernama Mbah Darmo.
Sawah seluas satu hektar itu tampak hijau subur, dengan tinggi rata-rata air. Akan kelihatan kontras bila dibandingkan dengan sawah sebelah, yang di beberapa titik tampak lebih rendah dibanding lainnya. Tikus-tikus telah merusak titik-titik tersebut, sehingga menghambat pertumbuhan padi. Hal seperti itu tidak terjadi pada sawah mbah Darmo, yang tampak rapi.
Angin pagi membelai hehijauan pelan, membuat padi hijau itu menari-nari dalam irama sepoi. Beberapa gerombol burung menyempatkan diri transit dalam semak padi, sesekali terbang kecil berhamburan, sambil menebarkan kicau. Beberapa pohon gempol berdiri tenang, karena angin tak berani menyentuh kokohn batang pohonnya. Pemandangan ini membuat iri para petani lainnya.
"Mbah.. Sawah mbah kok tidak diserang tikus barang sedikitpun. Apa rahasianya mbah?" Selidik kang Parjo penasaran.
"Tidak ada rahasia apa-apa. Aku cuma ngomong sama tikus dan Mbok Sri*. Itu saja." Jawab mbah Darmo singkat, agak acuh tak acuh.
"Ngomong bagaimana mbah?"
"Ya ngomong. Supaya tikus-tikus itu tidak makan padiku. Kepada mbok sri ku sampaikan supaya ikut menjaga padi tetap subur."
"Caranya pripun mbah?" selidik kang parjo, makin penasaran.
"Jo.." Sapa mbah darmo mengawali penjelasannya. "Kalau sampean mau ngomong sama teman sampean yang di Jakarta, sampean pakai apa?"
"Ya pakai HP mbah.." Sahut kang parjo ketus.
"Itulah Jo.. Ketika kita ingin komunikasi dengan orang yang jauh dengan kita, kita harus menggunakan media atau alat. Demikian jika, jika kita ingin komunikasi dengan tikus maupun padi, ya harus pakai alat juga. Tikus itu Jo, juga makhluk Tuhan yang bernyawa. Ia mempunyai indera untuk berkomunikasi. Padi kan juga makhluk hidup Jo. Dan yang lebih penting, Tuhan menciptakan segala yang ada di muka bumi ini pada dasarnya untuk kebaikan manusia. Tinggal bagaimana kita menyikapinya." Jelas mbah Darmo, agak panjang.
Benar, alam diciptakan Tuhan untuk kemakmuran manusia. Tidak ada sedikitpun cela dari desain ciptaanNya. Nyamuk, tikus, ular, bahkan kutu pun diciptakannya tanpa kesia-siaan. Mbah Darmo telah mempraktekkan bagaimana manusia, alam dan tumbuhan bisa melakukan harmoni, tanpa merusak antara satu dengan lainnya. Kuncinya satu, komunikasi. Alam semesta ini adalah media yang disediakan Tuhan untuk berkomunikasi kepada Nya.
Mbah darmo telah berkomunikasi dengan alam dengan dimensi dan medianya sendiri. Ya, melalui media sajen. Sebagaian orang mungkin akan mengatakan ini sebagai musyrik. Ada juga yang mengatakan tahayyul, bid'ah atau juga terlalu kejawen. Orang modern akan mengatakan hal ini sebagai suatu kesia-siaan yang tak berguna, mubazdir. Bahkan cemoohan yang lebih ekstrim, dikatakan orang gila barang kali. Namun ini hanya perbedaan cara pandang dan paradigma saja. Sama saja orang tradisional yang melihat orang modern ketika ngomong sendiri dengan sebuah kotak kecil yang bernama HP, sebagai orang gila.
Sajen adalah media yang digunakan oleh mbah Darmo untuk berkomunikasi dengan alam. "Irasional", kata kita. Tapi apakah alam semesta ini hanya untuk orang-orang yang rasional. Bukankah di dunia ini ada hal yang tidak rasional. Mu'jizat itu tidak rasional, demikian juga dengan keramat para wali dan ma'unah orang-orang baik yang pinilih. Bahkan sholat itu juga boleh jadi tidak rasional, tentunya bagi orang yang tidak beriman.
Ketika arogansi manusia sudah merusak harmoni alam. Rantai makanan telah diputus. Ular telah banyak diburu, sehingga populasinya habis. Dampaknya populasi tikus sebagai jaring makanan ular menjadi meledak. Demikian pula dengan burung pemangsa tikus yang kian hari makin punah. Kepongahan manusia mencapai puncaknya, ketika mereka menggunakan setrum untuk membantai para tikus yang dianggap kurang ajar. Sebuah upaya "panik" yang tidak hanya membahayakan tikus, namun juga manusia itu sendiri. Berapa banyak manusia yang mati kesetrum oleh setrum tikus. Sebuah senjata makan tuan. Mbah Darmo, meskipun banyak dianggap kolot, mencoba membangun komunikasi harmonis tersebut, dengan media dan caranya sendiri tentunya.
**********
Malam itu, hamparan sawah sangat gelap. Bulan di atas sana tinggal sepenggal, seperti pisang. Bintang-bintang bersembunyi di hamparan mendung yang menutupi langit. Tampak titik-titik cahaya merah kekuning-kuningan yang bertebaran. Cahaya itu tampak kelap-kelip menghiasai pekatnya malam. Dari kejauhan, mungkin tidak ada yang mengira kalau cahaya itu berasal dari sawah. Ya, titik cahaya itu berasal dari bola lampu yang di pasang di pojok-pojok sawah. Bola lampu itu sebagai tanda, bahwa sawah itu dialiri aliran listrik 220 volt. Para petani, sudah terlelap di ranjangnya, menyerahkan segala persoalan pertikusan ini kepada setrum. Hanya sebagian kecil sawah saja yang tidak dipasang setrum.
Dari sebuah sudut sawah yang ada lampunya itu, tampak barisan binatang kecil yang berderet antre panjang kebelakang. Ratusan mungkin jumlahnya. Pada satu titik, binatang itu melompat agak tinggi. Seperti ada yang mengkomando, deretan itu berderet dan melompat, seperti hewan sirkus yang sudah terlatih. Tikus-tikus itu secara sigap melompati kawat setrum yang mencoba menjebaknya. Setelah masuk di area sawah, binatang pengerat itu lari berhamburan, memilih area masing-masing, menikmati pesta malamnya. Tak seekor pun dari ratusan tikus tersebut yang menyentuh kawat.
Dari tepi sawah, agak jauh dari temaram cahaya lampu, tampak sesosok tinggi hitam legam. Sosok tersebut seukuran manusia dewasa, mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu, namun bukan bahasa manusia. Dari kejauhan, bagian atas sosok tersebut tampak dalam bentuk siluit, telinganya panjang ke atas, muludnya moncong ke depan, tampak dua gigi yang menunjol dari rahang atas. Ya, sesosok tikus tinggi besar berdiri dengan kedua kakinya. Sementara dua kaki depannya, atau lebih tepat disebut tangan, melakukan gerakan kecil seperti memberi aba-aba.
________________
Kedungbanteng, 4 Desember 2012
Cerpen ini pernah dimuat di rubrik Cerpen okezone.com
*Mbok (Dewi) Sri merupakan mitologi Jawa tentang dewi yang melindungi pangan.
Penulis : Muhamad Mustaqim
Pengurus PAC Ansor Kecamatan Karanganyar Kabupaten Demak
Pengurus PC Ansor Demak
Dosen STAIN Kudus
KOMENTAR