Universitas Al-Ahgaff Yaman |
"Mana Dalilnya"
Pertanyaan seperti itu akhir-akhir ini sering muncul bahkan dari mereka yang mungkin tidak mengerti apa yg dinamakan "dalil". Memang betul, bahwa seseorang berhak menanyakan dalil atau dasar hukum syari'at semata-mata agar dirinya lebih memahami hikmah yang tekandung, akan tetapi perlu dipahami bahwa tidak semua dalil dapat dipahami dengan instan, karena 'ibaroh (redaksi) nash yang terkandung dalam Al-qur'an dan Hadits tidak semua bersifat واضح الدﻻلة sehingga dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat awam. Adakalanya, dalil suatu hukum bersifat خفي الدﻻلة sehingga seseorang yang belum mengenal Ilmu Ushul fiqh akan sulit memahami proses yang dilakukan seorang mujtahid ( Ulama' yang telah memenuhi kriteria tertentu ) untuk menetapkan hukum melalui dalil tersebut.
Maka dari itu, ketika seorang mujtahid ditanya tentang hukum syari'at, tidak diwajibkan baginya untuk menjelaskan dalil hukum tersebut, hanya saja disunnahkan jika dalil mudah dipahami oleh awam.
Sebenarnya seorang yang terlalu sering mempertanyakan dalil kepada ulama' itu seakan tak percaya apa yang disampaikan ulama', sama halnya ketika dokter menjelaskan bahwa sakit yang dirasakan pasien karena pembengkakan liver, kemudian dia bertanya "apa buktinya liver saya bengkak? Apa dasarnya?? ", tentu hal seperti itu merupakan etika buruk pasien kepada dokter. Terlebih jika yang bertanya tentang adanya dalil adalah ia yang meninggikan suara menantang dan termasuk kaum yang beranggapan bahwa Ilmu ushul fiqh adalah BID'AH, maka dipastikan sulit memberikan pemahaman ilmiah padanya.
Wallahu a'lam, semoga bermanfaat.
Oleh: Sayyid Husein Ali Assegaf
(Ketua Dewan Syuriah FMI Yaman, Alumni Pon Pes Sunniyah Salafiyyah & mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat 5 )
KOMENTAR